Share:

Pendiri Studio Ghibli Pernah Kritik Keras soal AI — Apakah Dunia Seni Mendengarkannya?

Daftar Isi

Pada suatu sesi demonstrasi teknologi di Studio Ghibli, Hayao Miyazaki, sutradara legendaris dan pendiri studio animasi paling berpengaruh di dunia, menyaksikan sebuah karya yang dibuat oleh AI—sebuah simulasi makhluk menyeret tubuhnya seperti mayat hidup. Para teknolog di ruangan itu berharap mendapat pujian. Namun Miyazaki hanya diam sebentar, lalu berkata lirih, “Saya sangat marah. Ini tidak menghormati kehidupan. Saya merasa ini penghinaan terhadap eksistensi manusia.”

Pernyataan itu terdengar lebih dari sekadar ketidaksukaan. Itu adalah kritik mendalam terhadap arah perkembangan teknologi kreatif, terutama artificial intelligence (AI) yang mulai masuk ke ranah seni dan animasi. Pernyataan Miyazaki kemudian viral dan dijadikan rujukan di berbagai forum etika AI, dari Reddit hingga simposium AI internasional. Banyak yang bertanya: Apakah mesin benar-benar bisa menggantikan jiwa dalam seni?

Menurut laporan World Economic Forum 2024, sekitar 45% kreator konten digital kini pernah menggunakan AI dalam proses produksi mereka, baik untuk menulis, menggambar, atau membuat storyboard animasi. Namun, masih banyak seniman dan tokoh besar seperti Miyazaki yang mempertanyakan: “Apakah ini kemajuan, atau hanya kemudahan yang merusak makna?”

Konsekuensi Kritik dari Tokoh Seperti Miyazaki

Kritik Miyazaki tidak muncul dari ruang hampa. Sebagai orang yang mengabdikan hidupnya pada karya-karya yang menekankan nilai kemanusiaan, kehangatan, dan koneksi spiritual antara manusia dan alam, ia memandang AI—khususnya dalam seni—sebagai sesuatu yang berpotensi mengaburkan nilai-nilai tersebut.

Reaksi terhadap kritik itu pun beragam. Sebagian penggemar dan pengamat menyebutnya “kolot”, namun banyak juga yang justru merasa diingatkan akan nilai asli dari seni: empati, kepekaan, dan pengalaman manusia yang tak tergantikan oleh algoritma.

Mengapa Kritik Ini Relevan Hari Ini

Kini, di tengah maraknya AI art generator seperti Midjourney, DALL·E, dan fitur visual di ChatGPT, kritik Miyazaki terasa semakin relevan. Ketika semakin banyak kreator—dari desainer grafis hingga animator—mulai “berkolaborasi” dengan AI, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kita sedang memperkaya kreativitas atau malah mempercepat hilangnya sentuhan manusia?

Dalam riset terbaru oleh Pew Research Center, sebanyak 32% responden seniman menyatakan mereka merasa “terancam” dengan kehadiran AI dalam seni, sementara 58% mengaku “bingung” harus bersikap seperti apa terhadapnya.

Pandangan Seniman Lain dan Konteks Global

Miyazaki bukan satu-satunya tokoh seni yang bersikap kritis. Sutradara Blade Runner 2049, Denis Villeneuve, pernah mengatakan bahwa teknologi tidak boleh jadi penentu arah cerita. Bahkan artis digital seperti Beeple—yang dikenal memanfaatkan AI—pernah menyatakan bahwa “seni tanpa sentuhan manusia adalah seni yang kehilangan napasnya.”

Namun di sisi lain, AI juga memicu revolusi dalam kreativitas. Ada desainer indie yang bisa memproduksi visual sinematik dalam waktu satu hari, sesuatu yang sebelumnya membutuhkan waktu berminggu-minggu. Di sinilah perdebatan mulai menggeliat: antara efisiensi dan esensi.

Peran Bamaha Digital dalam Wacana Ini

Sebagai bagian dari ekosistem teknologi dan seni digital di Indonesia, Bamaha Digital memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara inovasi dan nilai kemanusiaan. Kami membantu kreator, analis, dan media yang ingin menyelami dinamika ini dengan menyediakan edukasi, analisis kritis, dan tools kreatif berbasis AI—namun tetap mengedepankan perspektif humanistik dan etis dalam penggunaannya.

Baik Anda seorang jurnalis, seniman, penggemar Ghibli, atau pemerhati teknologi, Bamaha Digital hadir untuk membantu menjawab tantangan zaman: bagaimana menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti kreativitas manusia?

Kesimpulan

Kritik Hayao Miyazaki terhadap AI bukanlah penolakan buta terhadap teknologi, melainkan panggilan untuk refleksi. Dalam dunia yang semakin cepat dan otomatis, suara seperti miliknya mengingatkan kita bahwa seni bukan hanya soal efisiensi, tapi juga tentang jiwa. Maka, di tengah euforia AI yang berkembang, pertanyaannya adalah: Apakah kita masih mendengar suara para manusia yang menciptakan seni dengan hati?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Perusahaan yang bergerak di bidang Website Development dan Digital Marketing sejak 2017. Dengan pengalaman unlimited feature & request, layanan yang Kami berikan adalah sesuai dengan permintaan Anda.

Layanan Kami

0857-3343-3146

Senin - Minggu 08.30 - 21.00 WIB

sales@bamahadigital.com

Informasi via email, kirim email

0857-3343-3146

Chat whatsapp admin

Ponorogo, Jawa Timur

Grand Lawu Residence, A7

© Copyright 2025 | BAMAHA DIGITAL | All Rights Reserved

Butuh Diskusi Terkait
Digital Marketing?

Dapatkan Konsultasi Gratis & Penawaran Terbaik dari tim kami dengan mengisi form berikut ini: